“Terdengar manusia banget kan?”
“Kau penakut.” Tukasnya seraya meniup kopi yang baru diantarkan pelayan. Gadis itu kemudian mengangguk ramah pada pelayan yang mengantarkan kopinya.
Asap mengepul di atas cangkir kopi hitam itu. Gadis itu menyesapnya sambil membuang pandangan dariku.
Aku mendengus dan mengalihkan pandanganku dari buku kemudian menatapnya, “Bukan gitu. Cuma… Yah kamu gaakan ngerti juga.” Aku kembali memandang lembaran novelku, mencari bait yang tadi sedang aku baca.
Kami duduk berdua di sebuah cafe dengan pemandangan sawah yang menghampar. matahari tampak berwarna jingga dan turun secara perlahan.
Suasana sunyi dan tenang ini langsung terusik oleh ucapan gadis yang sedari tadi mencoba menyudutkanku.
“Kamu bahkan belum mengambil langkah, tapi langsung mikir kemungkinan terburuk yang akan terjadi, kan?” Ia masih mendesakku. Matanya menatapku lurus menuntut jawaban.
“Iya, tapi memikirkan kemungkinan terburuk itu juga membantu aku untuk langsung menemukan solusi kalo ada masalah,” Aku mencoba menjelaskan tanpa memandangnya.
Aku terus menatap novel yang diam diam tidak aku baca. ucapan gadis di depanku sangat mengusik.
“Oke miss visioner. Tapi kamu harus ngaku kalo pada akhirnya kamu jadi takut dan akibatnya ga jadi ambil langkah,” Kali ini gadis itu kembali menyesap kopinya sambil menyilangkan kaki dengan angkuh.
Ia segaja. Ia sengaja menekankan kata miss visioner.
Aku benci karena ia selalu menyatakan pendapatnya dengan tajam. Dan aku lebih benci karena pendapatnya seringkali benar. Ia tahu itu.
Aku menutup bukuku sebab ini akan menjadi perdebatan yang pan-jang.
“Kamu tahu kan kalo sikap kamu mulai menyebalkan?” Aku kesal.
“Oya, bagian mananya?”
“Iya itu! kamu ngomong seolah-olah pendapatmu udah pasti benar dan orang lain harus terima.”
Dia terkekeh. “Engga. Kamu kesal karena apa yang aku omongin benar. Kamu kan yang paling tahu kalo manusia menghindari kenyataan yang bikin sakit. Padahal ini fakta.”
Aku mendengus. “Anggaplah itu benar,” Aku masih menolak mengakui kemenangannya, “Lalu apa solusimu?”
“Kamu ga akan suka mendengarnya,”
“Oya? mari kita lihat.”
“Oke,” Gadis itu mencondongkan badannya ke arahku. “Kamu gak spesial.” Katanya sambil menatapku dengan serius.
Alisku mengkerut, saking bingungnya kepalaku refleks mundur.
“Itu aja?”
“Ribuan orang gagal setiap hari, sis. Hal itu biasa dan bisa terjadi. Mulai dari kegagalan ringan seperti salah menjawab essai, sampai gagal dan rugi miliaran. Itu bisa terjadi.”
Aku diam. Namun, gadis itu ikut terdiam. “Aku masih medengarkan.” Ucapku memecah keheningan.
“Jadi yang aku maksud adalah…. kamu itu gak spesial. Ngga papa kamu salah ambil keputusan, gak papa punya luka-luka bekas pengalaman, gak papa buat jadi kacau balau. Gak papa banget kamu ngerasain gagal, kecewa dan marah.”
Aku diam. Tanpa sadar aku mulai bersikap defensif, “Mudah untuk kamu ngomong, tapi ini sulit untuk aku.”
“Nah itu!” Dia berseru kencang sambil menunjukku
“Apa?”
“Bukan aku yang melewati itu semua, tapi kamu. Justru karena bukan aku yang ngalamin, aku bisa kasih kamu perspektif lain.” Ia menarik napas, lalu melanjutkan, “Jadi gini, menurutku semua hal di luar diri kita ini sifatnya netral. Begitu masuk ke dalam pikiran kita, baru kita bebas menentukan apakah ini positif atau negatif. Iya kan?”
“… oke, lalu?”
“Aku tahu ini nggak mudah, dan terkesannya aku menyepelekan perasaan kamu. Tapi percayalah, engga sama sekali. Karena, dengan mengetahui kalo kita bebas memandang sesuatu dengan berbagai perspektif, itu bikin kita lebih powerful untuk ngadepinnya,”
Aku diam.
“kamu ngerti kan?” Katanya mendesakku.
“Iyaaaa aku ngerti. Tapi kesannya kok kamu menolak emosi takut ku ya?”
“Hah? haha engga sama sekali.” Ia menyanggah sambil tertawa kecil. “Silahkan kamu validasi emosimu sepuasmu, asal jangan terlalu berlarut-larut. Dan kalo kamu merasa ngga sanggup, silahkan aja pergi ke psikolog atau psikiater. Gapapa banget. Toh ratusan orang pergi ke psikolog atau psikiater dalam sehari karena mereka punya masalah yang udah mengganggu keseharian. Kamu gak spesial, banyak yang begitu.
intinya kamu jangan takut melangkah. Kamu bisa melangkah, karena kamu gak spesial. ngerti kan maksud aku?”
“Jadi maksudmu, aku gak spesial… jadi aku bisa membuat langkah salah atau mengalami gagal, seperti yang lain? Aku juga boleh merasakan sedih, kecewa dan marah karena gagal, sama seperti orang lain? Begitu?”
“Terdengar manusia banget kan?”
— — — — — — — — — —
“Nad… Nad… hey!” Seseorang mengguncang pundakku. Aku seperti terbangun dari lamunanku. perlu beberapa detik untuk menyadari di mana aku berada.
Tidak ada hamparan sawah berwarna hijau, tidak ada matahari berwarna jingga, tidak ada kopi dan buku, tidak ada suasana hening cafe… dan tidak ada gadis itu.
Ya… gadis itu! gadis yang wajahnya mirip denganku!
Aku masih terdiam dan baru menyadari.
Aku tidak pernah duduk di cafe tersebut. tidak pernah merasakan tenangnya cafe dengan pemandangan hamparan sawah berwarna hijau. Tidak pernah membaca novel yang bahkan aku tidak ingat judulnya itu.
tidak ada.
Itu hanya percakapan dalam lamunan singkat antara aku dengan diriku.
“Jadi gimana Nad? Harus ambil keputusan secepatnya ini.” Gadis berambut potongan bob di depanku ini memandang panik. Di depanku berdiri beberapa orang dengan tampang gelisah dan panik yang sama.
Mereka menunggu jawaban. Menuntut keputusan.
Aku tidak spesial. Tidak apa-apa salah ambil keputusan, tidak apa-apa punya luka-luka bekas pengalaman, tidak apa-apa jadi kacau balau. tidak apa-apa merasakan gagal, kecewa dan marah.
Aku tidak spesial dan aku selalu berusaha semampuku.
aku sudah memutuskan.
“Oke, jadi gini,” Aku menatap mereka dengan mantap.
— — — — — — — — — — — — — — —
Cileungsi, 16 September 2022